Nita Widiati Efsa
Pada biru dan temaram cahaya aku menyusup
mencari cinta di dingin angin dan kabut
yang menyusut. Mega bergerak perlahan
menguak segala tabir kehidupan. Tentang hujan
yang menunggu dengan tangis tertahan dan bergetar
Dengan alam aku bersepakat
memaknai panggilan jejak Bilal yang memecah kesunyian
kelelawar yang menunda perburuan. Kemudian terbang
mencari pohon tidurnya di hutan. Gemericit pipit
menyenandungkan puisi mengurai cinta dari mungil paruhnya
Matahari masih tersungkur dalam sujud
mematangkan cahaya dalam doa panjang
semburatnya membayang di timur sedikit ke selatan
menenangkan gelisah lautan. Camar yang pasrah
mengeja setiap kepaknya dalam kaligrafi Ilahi
Di bening langit bukan kertas tanpa noda
di mana kita tidak menemukan apa-apa. Tapi di bening langit
kita bisa menentukan untuk menjadi siapa, sebagai apa
dengan memahami gemintang dan bulan yang terlambat
pulang. Memahami matahari yang menunda kedatangannya
Pada biru dan temaram cahaya aku menyusup
mencari cinta di dingin angin dan kabut
yang menyusut. Mega bergerak perlahan
menguak segala tabir kehidupan. Tentang hujan
yang menunggu dengan tangis tertahan dan bergetar
Dengan alam aku bersepakat
memaknai panggilan jejak Bilal yang memecah kesunyian
kelelawar yang menunda perburuan. Kemudian terbang
mencari pohon tidurnya di hutan. Gemericit pipit
menyenandungkan puisi mengurai cinta dari mungil paruhnya
Matahari masih tersungkur dalam sujud
mematangkan cahaya dalam doa panjang
semburatnya membayang di timur sedikit ke selatan
menenangkan gelisah lautan. Camar yang pasrah
mengeja setiap kepaknya dalam kaligrafi Ilahi
Di bening langit bukan kertas tanpa noda
di mana kita tidak menemukan apa-apa. Tapi di bening langit
kita bisa menentukan untuk menjadi siapa, sebagai apa
dengan memahami gemintang dan bulan yang terlambat
pulang. Memahami matahari yang menunda kedatangannya