A. Mustofa Bisri
~Untuk Ali Jabbar dan Usman Awam
Inilah Basrah
Tanah batu putih
Tak pernah berhenti memerah
Tak pernah lelah dijarah sejarah
Inilah Basrah
Pejuang Badar bernama Utbah
Membangun kota ini atas perintah Umar al Faruq sang khalifah
Entah mantra apa yang dibaca ketika meletakkan batu pertama
Sehingga kemudian setiap jengkal tanahnya
Tak henti-hentinya merekam nuansa seribu satu cerita
Basrah yang marah
Basrah yang merah
Basrah yang ramah
Basrah yang pasrah
Kota yang terus membatasi penduduknya
Dengan menambah jumlah syuhada
Inilah Basrah
Di sini Ali dan Aisyah, menantu dan istri Nabi
Mengumpulkan dendam amarah
Ghirah terhadap keyakinan kebenaran
Setelah mengantarkan Az Zubair dan Al Haq,
Hawari-hawari Nabi
Ke taman kedamaian abadi yang dijanjikan
Inilah Basrah
Di sini Abu Musa dan Abul Hasan
Mematrikan nama Al Asy’ari pada lempeng sejarah
Inilah Basrah
Di sini berbaur seribu satu aliran
Di sini sunnah, syiah dan mu’tazilah
Masing-masing bisa menjadi bid’ah
Di sini berhala pemutlakkan pendapat
Terkapar oleh kekuasaan fitrah
Inilah Basrah, mimbar khalwat Al Hasan al Bashri dan Rabi’ah
Inilah Basrah, tempat bercanda Abu Nawas dan Walibah
Inilah Basrah, tempat Al Musayyab dan syair-syairnya
Menghidupkan mirwat yang wah
Inikah Basrah
Tangan takdir penuh misteri
Menuntunku
Tamu tak diundang ini kemari
Aku menahan napas
Inikah Basrah
Inilah Basrah
Setelah perang Irak-Iran
Kurma-kurma yang masih pucat melambai ramah
Para pemuda, gadis, dan bocah
Menyanyi dan menari tahniah
Untuk penyair mirbat yang berpesta merayakan
Entah kemenangan apa
Di sini, Jum'at siang, 25 Jumadil 'Ula
Sehabis menelan dan memuntahkan puisi-puisi kebanggaan
Ratusan penyair dengan garang berhamburan
Menyerang kambing-kambing guling
Ikan-ikan shatul Arab yang dipanggang kering
Nasi samin dan roti segede-gede piring
Anggur dan korma kemurahan Basrah
Aku dilepas takdir ke tengah-tengah mereka
Mengeroyok meja makan yang panjang
Menelan puisi dan saji
Sambil kuperhatikan wajah-wajah para penyair
Kalau-kalau, ah..
Sampai Walibah dan Abu Nawas pun tak tampak ada
Inilah Basrah
Bersama para penyair yang lapar
Kutelan semuanya
Bersama-sama menghabiskan apa yang ada
Sampai mentari ditelan bumi
Dan aku pun tertelan habis-habisan
Basrah mulai gelap
Barangkali adzan maghrib sudah dikumandangkan
Tapi tampaknya tak satu pun yang mendengarnya
Kami kekenyangan semua
Dan aku, sambil bersendawa
Merogoh saku mencari-cari rokokku
Terasa kertas-kertas lusuh sanguku dari rumah
Puisi-puisi sufistik untuk Al Bashri dan Rabi’ah
Tiba-tiba, aku ingin muntah
Kulihat kedua zahid Basrah itu
Di sudut sana sedang berbuka
Hanya dengan air mata
Aku ingin lari bersembunyi, tapi kemana
Tuhan, berilah aku setetes saja air mata mereka
Untuk mencairkan batu di dadaku
Basrah, tolong jangan rekam kehadiranku
Basrah, 1410 H
(mohon maaf jika kesalahan penulisan, saya tulis dari apa yang saya dengar di sini)
~Untuk Ali Jabbar dan Usman Awam
Inilah Basrah
Tanah batu putih
Tak pernah berhenti memerah
Tak pernah lelah dijarah sejarah
Inilah Basrah
Pejuang Badar bernama Utbah
Membangun kota ini atas perintah Umar al Faruq sang khalifah
Entah mantra apa yang dibaca ketika meletakkan batu pertama
Sehingga kemudian setiap jengkal tanahnya
Tak henti-hentinya merekam nuansa seribu satu cerita
Basrah yang marah
Basrah yang merah
Basrah yang ramah
Basrah yang pasrah
Kota yang terus membatasi penduduknya
Dengan menambah jumlah syuhada
Inilah Basrah
Di sini Ali dan Aisyah, menantu dan istri Nabi
Mengumpulkan dendam amarah
Ghirah terhadap keyakinan kebenaran
Setelah mengantarkan Az Zubair dan Al Haq,
Hawari-hawari Nabi
Ke taman kedamaian abadi yang dijanjikan
Inilah Basrah
Di sini Abu Musa dan Abul Hasan
Mematrikan nama Al Asy’ari pada lempeng sejarah
Inilah Basrah
Di sini berbaur seribu satu aliran
Di sini sunnah, syiah dan mu’tazilah
Masing-masing bisa menjadi bid’ah
Di sini berhala pemutlakkan pendapat
Terkapar oleh kekuasaan fitrah
Inilah Basrah, mimbar khalwat Al Hasan al Bashri dan Rabi’ah
Inilah Basrah, tempat bercanda Abu Nawas dan Walibah
Inilah Basrah, tempat Al Musayyab dan syair-syairnya
Menghidupkan mirwat yang wah
Inikah Basrah
Tangan takdir penuh misteri
Menuntunku
Tamu tak diundang ini kemari
Aku menahan napas
Inikah Basrah
Inilah Basrah
Setelah perang Irak-Iran
Kurma-kurma yang masih pucat melambai ramah
Para pemuda, gadis, dan bocah
Menyanyi dan menari tahniah
Untuk penyair mirbat yang berpesta merayakan
Entah kemenangan apa
Di sini, Jum'at siang, 25 Jumadil 'Ula
Sehabis menelan dan memuntahkan puisi-puisi kebanggaan
Ratusan penyair dengan garang berhamburan
Menyerang kambing-kambing guling
Ikan-ikan shatul Arab yang dipanggang kering
Nasi samin dan roti segede-gede piring
Anggur dan korma kemurahan Basrah
Aku dilepas takdir ke tengah-tengah mereka
Mengeroyok meja makan yang panjang
Menelan puisi dan saji
Sambil kuperhatikan wajah-wajah para penyair
Kalau-kalau, ah..
Sampai Walibah dan Abu Nawas pun tak tampak ada
Inilah Basrah
Bersama para penyair yang lapar
Kutelan semuanya
Bersama-sama menghabiskan apa yang ada
Sampai mentari ditelan bumi
Dan aku pun tertelan habis-habisan
Basrah mulai gelap
Barangkali adzan maghrib sudah dikumandangkan
Tapi tampaknya tak satu pun yang mendengarnya
Kami kekenyangan semua
Dan aku, sambil bersendawa
Merogoh saku mencari-cari rokokku
Terasa kertas-kertas lusuh sanguku dari rumah
Puisi-puisi sufistik untuk Al Bashri dan Rabi’ah
Tiba-tiba, aku ingin muntah
Kulihat kedua zahid Basrah itu
Di sudut sana sedang berbuka
Hanya dengan air mata
Aku ingin lari bersembunyi, tapi kemana
Tuhan, berilah aku setetes saja air mata mereka
Untuk mencairkan batu di dadaku
Basrah, tolong jangan rekam kehadiranku
Basrah, 1410 H
(mohon maaf jika kesalahan penulisan, saya tulis dari apa yang saya dengar di sini)