Aku Hanya Ingin

Mukti Mukti & Ajeng Kesuma


Aku hanya ingin mencintaimu
Seperti kisah syair kecil
Mendekap nyanyian jiwa

Aku hanya ingin merindukanmu
Seperti saat menangis
Meraba malam
Pencarian atas segala jumpa

Aku ingin menyusuri bentang waktu
Dan menemukan rasa yang pernah terasa

Maskumambang

W. S. Rendra

Kabut fajar menyusut dengan perlahan.
Bunga bintaro berguguran
di halaman perpustakaan.
Di tepi kolam,
di dekat rumpun keladi,
aku duduk di atas batu,
melelehkan air mata.

Cucu-cucuku!
Zaman macam apa, peradaban macam apa,
yang akan kami wariskan kepada kalian!
Jiwaku menyanyikan tembang maskumambang.

Kami adalah angkatan pongah.
Besar pasak dari tiang.
Kami tidak mampu membuat rencana
manghadapi masa depan.

Karena kami tidak menguasai ilmu
untuk membaca tata buku masa lalu,
dan tidak menguasai ilmu
untuk membaca tata buku masa kini,
maka rencana masa depan
hanyalah spekulasi keinginan
dan angan-angan.

Cucu-cucuku!
Negara terlanda gelombang zaman edan.
Cita-cita kebajikan terhempas waktu,
lesu dipangku batu.

Tetapi aku keras bertahan
mendekap akal sehat dan suara jiwa,
biarpun tercampak di selokan zaman.

Bangsa kita kini seperti dadu
terperangkap di dalam kaleng utang,
yang dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa,
tanpa kita berdaya melawannya.
Semuanya terjadi atas nama pembangungan,
yang mencontoh tatanan pembangunan
di zaman penjajahan.

Tatanan kenegaraan,
dan tatanan hukum,
juga mencontoh tatanan penjajahan.
Menyebabkan rakyat dan hukum
hadir tanpa kedaulatan.
Yang sah berdaulat
hanyalah pemerintah dan partai politik.

O, comberan peradaban!
O, martabat bangsa yang kini compang-camping!

Negara gaduh.
Bangsa rapuh.
Kekuasaan kekerasan merajalela.
Pasar dibakar.
Kampung dibakar.
Gubuk-gubuk gelandangan dibongkar.
Tanpa ada gantinya.
Semua atas nama takhayul pembangunan.
Restoran dibakar.
Toko dibakar.
Gereja dibakar.
Atas nama semangat agama yang berkobar.

Apabila agama menjadi lencana politik,
maka erosi agama pasti terjadi!
Karena politik tidak punya kepala.
Tidak punya telinga. Tidak punya hati.
Politik hanya mengenal kalah dan menang.
Kawan dan lawan.
Peradaban yang dangkal.

Meskipun hidup berbangsa perlu politik,
tetapi politik tidak boleh menjamah
ruang iman dan akal
di dalam daulat manusia!

Namun daulat manusia
dalam kewajaran hidup bersama di dunia,
harus menjaga daulat hukum alam,
daulat hukum masyarakat,
dan daulat hukum akal sehat.

Matahari yang merayap naik dari ufuk timur
telah melampaui pohon jinjing.
Udara yang ramah menyapa tubuhku.
Menyebar bau bawang goreng yang digoreng di dapur.
Berdengung sepasang kumbang
yang bersenggama di udara.
“Mas Willy!” istriku datang menyapaku.
Ia melihat pipiku basah oleh air mata.
Aku bangkit hendak berkata.
“Sssh, diam!” bisik istriku,
“Jangan menangis. Tulis sajak.
Jangan bicara.”

Kerendahan Hati

Abah Iwan 

Kalau engkau tak mampu jadi beringin
yang tegak di puncak bukit
jadilah belukar
tetapi belukar terbaik
yang tumbuh di pinggir danau

Kalau engkau tak sanggup menjadi belukar
jadilah rumput
tetapi rumput yang memperkuat
tanggul di pinggir jalan

Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
jadilah jalan kecil
tetapi jalan setapak
yang membawa orang ke mata air

Tidak semua menjadi kapten kapal
tetapi harus ada awak kapalnya

Bukan kecil besarnya tugas
yang menjadi tinggi rendahnya nilai dirimu

Jadilah saja dirimu
sebaik-baik dirimu sendiri

Nyanyian Langit

Abah Iwan 

Sore tadi surut perlahan-lahan
Dan bayang-bayang senja merayap satu-satu
Menjemput bintang-bintang yang diam-diam hadir
Kuterpana tiba-tiba bagai dalam mimpi
Langit luas malam ini penuh lagu

Lama kutercenung
Angin semilir mengelus kalbuku
Dan air mata meleleh di dalam hatiku.. Di hatiku

Entah kapan peristiwa begini
Bintang-bintang berbisik.. mmm..
Bernyanyi di hatiku.. mmm..
Malam senyap begini
Kuingin kau berulang

Satu-satu kudatangi kerlip-kerlip ini
Ragu-ragu kuhampiri dalam sepi

Langit yang terkembang
Begini kecil hadirku di sini
Pesona yang dahsyat
Menyergap memukau hatiku.. Jiwaku..

Entah kapan peristiwa begini
Bintang-bintang berbisik.. mmm..
Bernyanyi di hatiku.. mmm..
Malam senyap begini
Bergema penuh lagu

Bulan Langlayangan Peuting

Mang Koko

Bulan téh langlayangan peuting
nu ditatar dipulut ku tali gaib
entong salempang mun kuring miang
ditatar ti Tatar Sunda
dipulut nya balik deui ka dieu
ieuh, masing percaya.

Bedil geus dipéloran
granat geus disoréndang
ieu kuring arék miang
jeung pasukan Siliwangi
ka Jogja hijrah taat paréntah.

Bulan téh langlayangan tineung
nu ngoleang dipulut ku angin gaib
entong salempang mun kuring anggang
kapirarai tanah Sunda
kacipta mun balik enung mapagkeun
ieuh, di dora lembur.

Bedil geus dipéloran
granat geus disoréndang
ieu kuring arék miang
jeung pasukan nusaati
ka wétan muru bijil balebat.